Sabtu, 26 Maret 2016

RPP, SILABUS, PROTA, PROSEM, BAHASA ARAB MTS KURIKULUM 2013

assalamualaikum wr.wb. guru yang baik bukan hanya dapat menyampaikan materi kepada murid didepan kelas, tapi juga mampu menyiapkan berbagai perlengkapan pembelajaran yang dibutuhkan sesuai dengan undang-undang pendidikan yang berlaku. seperti silabus, rpp, prota, prosem, dll. maka dari itu pada kesempatan kali ini saya ingin berbagi beberapa perlengkapan pembelajaran yang di butuhkan bagi seorang tenaga pengajar/guru.
postingan ini berisi seperangkat pembelajaran untuk guru mata pelajaran Bahasa Arab Kelas VII&VIII untuk tingkat MTs/SMP. yang merupakan hasil dari Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) mengajar saya beberapa waktu yang lalu.
bagi yang membutuhkan silahkan download dengan klik link di bawah ini :

Hatur Nuhun,. Wassalamualaikum, Wr.Wb

Kamis, 09 Oktober 2014

Kekeliruan Buku Pendidikan Mengharamkan Kata "JANGAN"



Salah seorang pendidik pernah berkata, "Pintu
terbesar yang mudah dimasuki Yahudi ada dua,
yaitu dunia psikologi dan dunia pendidikan."

Karena itulah, berangkat dari hal ini. Kita akan
mengupas beberapa "kekeliruan" pada buku-buku
pendidikan, seminar, teori pendidikan, dll.
Yang kadang sudah menjangkiti beberapa pendidik
muslim, para ayah dan ibu, yaitu melarang berkata
"Jangan" pada Anak.
Beberapa waktu lalu, saya sepakat dengan hal ini.
Maka dengan tertulisnya artikel ini, saya bertaubat
kepada Alloh Subhanahu wa ta'ala dari bahayanya
doktrin di atas.
Mari kita lihat, beberapa perkataan 'dalam
pendidikan' tentang larangan mengucapkan kata
'jangan' pada anak, misalnya "..gunakan kata-kata
preventif, seperti hati- hati, berhenti, diam di
tempat, atau stop. Itu sebabnya kita sebaiknya
tidak menggunakan kata 'jangan' karena alam
bawah sadar manusia tidak merespons dengan
cepat kata "jangan.."
Pada media online detik.com, pernah tertulis artikel
'Begini Caranya Melarang Anak Tanpa Gunakan
Kata 'Tidak' atau 'Jangan', bertuliskan demikian:
"..Tak usah bingung, untuk melarang anak tak
melulu harus dengan kata jangan atau tidak..."
Pada sebuah artikel lain, berjudul, "Mendidik Anak
Tanpa Menggunakan Kata JANGAN” tertulis, "Kata
'jangan' akan memberikan nuansa negatif dan
larangan dari kita sebagai orangtua, maka dari itu
coba untuk mengganti dengan kata yang lebih
positif dan berikan alasan yang dapat diterima
anak..."
Nah, inilah syubhat (keraguan/kerancuan). Indah
nampaknya, tapi di dalamnya terkandung bahaya
yang fatal. Mari kita bahas syubhat yang mereka
gelontorkan. Sebelumnya, kalau kita mau teliti, mari
kita tanyakan kepada mereka yang melarang kata
'jangan', apakah ini punya landasan dalam Al-
Qur'an dan hadits?
Apakah semua ayat di dalam al-Qur'an tidak
menggunakan kata
"Laa (jangan)"?
Mereka pun mengatakan jangan terlalu sering
mengatakan jangan. Sungguh mereka lupa bahwa
lebih dari 500 kalimat dalam ayat Al-Qur’an
menggunakan kata “jangan". Allohu Akbar, banyak
sekali!
Mau dikemanakan kebenaran ini?
Apa mau dibuang?
Apa mau lebih memilih teori-teori yang
dhoif?
Kalau mereka mengatakan kata jangan bukan
tindakan preventif (pencegahan), maka kita tanya,
apakah Anda mengenal Luqman Al-Hakim? (Surah
Luqman ayat 12 sampai 19).
Kisah ini dibuka dengan penekanan Allah bahwa
Luqman itu orang yang diberi hikmah, orang arif
yang secara tersirat kita diperintahkan untuk
meneladaninya (“walaqod ataina
luqmanal hikmah….” . dst)
Apa bunyi ayat yang kemudian muncul? Ayat 13
lebih tegas menceritakan bahwa Luqman itu
berkata kepada anaknya, “Wahai anakku,
JANGANLAH engkau menyekutukan Allah.
Sesungguhnya syirik itu termasuk dosa yang
besar”.
Inilah bentuk tindakan preventif yang sangat tegas
dalam al-Qur'an. Sampai pada ayat 19, ada 4 kata
“ laa" (jangan) yang dilontarkan oleh Luqman
kepada anaknya, yaitu “laa tusyrik billah”, “fa laa
tuthi’humaa”, “Wa laa tusha’ir khaddaka linnaasi”,
dan “wa laa tamsyi fil ardli maraha”.
Luqman tidak perlu mengganti kata “jangan
menyekutukan Allah” dengan (misalnya)
"esakanlah Allah”. Pun demikian dengan “Laa”
yang lain, tidak diganti dengan kata-kata kebalikan
yang bersifat anjuran.
Mengapa Luqmanul Hakim tidak menganti "jangan"
dengan "diam/hati-hati"? Karena ini bimbingan
Alloh.
Perkataan "jangan" itu mudah dicerna oleh anak,
sebagaimana penuturan Luqman Hakim kepada
anaknya.
Dan perkataan "jangan" juga positif, tidak negatif.
Ini semua bimbingan dari Alloh Subhanahu wa
ta'ala, bukan teori pendidikan Yahudi.
Adakah pribadi psikolog atau pakar parenting
pencetus aneka teori ‘modern’ yang melebihi
kemuliaan dan senioritas Luqman? Tidak ada.
Luqman bukan nabi, tetapi namanya diabadikan
oleh Allah dalam Kitab suci karena ketinggian
ilmunya. Dan tidak satupun ada nama psikolog
yang kita temukan dalam kitabullah itu.
Membuang kata “jangan” justru menjadikan anak
hanya dimanja oleh pilihan yang serba benar.
Ia tidak memukul teman bukan karena mengerti
bahwa memukul itu terlarang dalam agama, tetapi
karena lebih memilih berdamai.
Ia tidak sombong bukan karena
kesombongan itu dosa, melainkan hanya karena
menganggap rendah hati itu lebih aman baginya.
Dan kelak, ia tidak berzina bukan karena takut
adzab Alloh, tetapi karena menganggap bahwa
menahan nafsu itu pilihan yang dianjurkan orang
tuanya.
Nas alulloha salaman wal afiyah.
Anak-anak hasil didikan tanpa “jangan” berisiko
tidak punya “sense of syariah” dan keterikatan
hukum.
Mereka akan sangat tidak peduli melihat
kemaksiatan bertebaran, tidak perhatian lagi
dengan amar ma'ruf nahi mungkar, tidak ada lagi
minat untuk mendakwahi manusia yang dalam
kondisi bersalah, karena dalam hatinya berkata “itu
pilihan mereka, saya tidak demikian”.
Mereka bungkam melihat penistaan agama karena
otaknya berbunyi “mereka memang begitu, yang
penting saya tidak melakukannya”.
Itulah sebenar-benar paham liberal, yang 'humanis’,
toleran, dan menghargai pilihan-pilihan.
Jadi, bila kita yakini dan praktikkan teori parenting
barat itu, maka sesungguhnya kita bersiap anak-
anak kita tumbuh menjadi generasi liberal.
Haruskah kita simpan saja Al-Qur’an di lemari
paling dalam, dan kita lebih memilih teori2 yahudi?
Astagfirulloh!
[Rujukan: Al-Qur'an, Akh Budi, Akh Yazid (Abu
Hanin
Komentar gurunda ustadz Fauzil Adhim: Terkait kata jangan atau tidak, dalam agama sudah sangat jelas bahwa kata jangan maupun tidak justru tak dapat dilepaskan. Syahadat diawali kata tidak. Nasehat Luqman menggunakan kata yang sama dengan makna jangan.
Ada ribuan kata bermakna tidak/jangan dalam Al-Qur'an. Tapi jika kita cuma mengetik bahasa Endonesiyah "jangan" di Al-Qur'an for android, ketemunya cuma sekitar 360
Saya pernah membahas ini di buku Saat Berharga untuk Anak Kita.
Di luar itu, jika kita seorang guru, salah satu hal penting untuk keberhasilan kelas adalah manajemen kelas. Dan urutan pertama dalam manajemen kelas adalah Aturan & Prosedur yang isi pokoknya Larangan dan Perintah.

Sumber : https://www.facebook.com/bintang.polaris.7

Rabu, 08 Oktober 2014

Menghidupkan Pendidikan atau Mencari Penghidupan Dari Pendidikan ?

Oemar Bakri... Oemar Bakri pegawai negeri
Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri... Profesor dokter insinyur pun jadi
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

Umar Bakri menjadi nama yang cukup populer di masyarakat Indonesia. Begitu mendengar atau membaca nama rekaan karya Iwan Fals ini bisa dipastikan pikiran kita langsung tertuju pada figur seorang guru pegawai negeri dengan sepeda kumbangnya. Ya, Umar Bakri dalam lagu ini adalah seorang guru yang mengajar disekolah yang murid-muridnya hobi tawuran. Guru Umar Bakri berbakti pada negeri, mencerdaskan anak bangsa.... tetapi.... gajinya kecil sekali.

Inilah reward yang diberikan pemerintah kepada Guru. Reward itu berbentuk gaji yang kecil, itupun masih dipotong sana-sini oleh para koruptor. Bagaimana bangsa ini bisa cerdas kalau guru-guru yang ditugaskan oleh negara untuk mendidik tunas bangsa tidak dihargai tinggi semua pengabdiannya. Katanya tanah Indonesia kaya raya, kenapa penghasilan guru yang dananya didapat dari kekayaan alam ini tidak bisa besar..? tanya kenapa??
Oemar Bakri di era modern tampaknya hampir punah dari bumi perkotaan; seiring anggaran APBN pemerintah sebesar 20% (sekitar Rp.286 Triliun) yang di alokasikan untuk bidang pendidikan, tak terkecuali juga anggaran gaji guru terutama PNS. Para guru yang ada di kota-kota besar, Sepeda kumbang Oemar Bakri sudah berganti dengan sepeda motor bahkan mobil mewah. Bakti pada negeri dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, berubah semboyan menjadi Bakti pada profesi dengan tujuan memperkaya diri. Image gaji kecil yang melekat pada Guru PNS kala itu pun perlahan meluntur seiring makin membengkaknya gaji guru(PNS) dengan segudang tunjangan. Baik di masa profesi maupun di masa pensiun nanti.

Namun demikian, jika menelusuri lebih jauh ke pelosok daerah di Indonesia; Generasi penerus Oemar Bakri masih banyak di temukan. Ditengah keterbatasan fasilitas pembelajaran, akses sulit menuju sekolah, serta honor yang sangat tidak layak di sebut dengan predikat gaji, para Oemar Bakri era modern itu tetap berjuang penuh tanggung jawab demi pengabdian pada negeri dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbanding 180 derajat dengan kondisi yang ada di daerah perkotaan, dimana fasilitas pendidikan sangat mendukung untuk proses pembelajaran, gaji menjajikan dengan segudang tunjangan, tapi tidak sedikit guru yang malas untuk mengajar. Bahkan datang kesekolah hanya karena tuntutan Absensi kehadiran sebagai guru (PNS) aktif. 

Dewasa ini, guru bukan lagi menjadi profesi yang di jauhi; justru banyak diminati. Hal ini terlihat dengan banyaknya perguruan tinggi yang membuka program keguruan di iringi pesatnya permintaan masyarakat. Banyak orang berbondong-bondong mendaftar ke perguruan tinggi demi sebuah sematan tittle "S.Pd/S.Pd.I" di belakang nama. mulai dari kalangan muda hingga yang sudah tua. Dari yang sungguh-sungguh mencari ilmu untuk bekal diri, atau sekedar mengejar absensi sebagai mahasiswa/i. Ada juga yang berkuliah demi memenuhi kewajiban sebagai umat manusia untuk Tholabul Ilmi, tidak jarang juga yang berkuliah demi memenuhi persyaratan untuk menjadi seorang PNS/Sertifikasi Guru.

Belum lagi fenomena menjamurnya lembaga pendidikan baru berbasis yayasan atau pemerintah. Baik dari tingkat diniyyah, dasar, hingga menengah atas. Yang sama-sama mempunyai Visi untuk turut andil dalam mewarnai dunia pendidikan di tanah air. Namun ironis, Fastabiqul Khoirot (berlomba-lomba dalm kebaikan) yang seharusnya menjadi dasar para pendiri sekolah, justru terkesan berubah menjadi ajang kompetisi mencari murid sebanyak-banyaknya. Muncul sebuah paradigma masyarakat, bahwa kesuksesan sebuah lembaga pendidikan di ukur dari jumlah peserta didik yang ada di lembaga itu. 
Setiap tahun ajaran baru akan di mulai, juga seakan menjadi Start di mulainya pertarungan antar lembaga pendidikan. Bertarung dalam segi promosi demi menarik sebanyak-banyaknya peserta didik. Berbagai macam cara dilakukan, mulai dari pengenalan langsung ke sekolah-sekolah sasaran, masyarakat, bahkan majelis ta'lim. Banner, Spanduk, serta brosur-brosur dengan label dan desaign lembaga pendidikan yang berserakan di jalan, turut mewarnai ramai dan sengitnya pertarungan. Dengan harapan lain, semakin banyak peserta didik yang mendaftar, maka semakin besar pula pemasukan(lembaga pendidikan) baik dari masyarakat maupun berupa bantuan dari pemerintah(BOS, BSM, RKB, Dll). Padahal fasilitas dan kemampuan sekolah baik di bidang tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan belum tersedia dengan maksimal.

Dengan demikian, Menghidupkan Pendidikan, atau justru Mencari Penghidupan Dari Dunia Pendidikan ? Wallahu'alam....

Senin, 29 September 2014

sore itu seusai kuliah,. "Alhamdulillah, UTS nya sudah selesai dan berjalan dengan lancar" ucapku dalam hati sambil bernafas lega di iringi suara riuh dari para mahasiswa STAIM setelah melakoni Ujian Tengan Semester (UTS) selama satu pekan. semua mahasiswa begitu bahagia, seakan terlepas dari beban. materi perkuliahan yang relatif menguras fikiran serta logika, metode belajar yang "aneh" di bandingkan masa SMK dulu, dimana kali ini mahasiswa(peserta didik) yang harus lebih aktif dan agresif dalam proses pembelajaran sedangkan dosen(pengajar) hanya sebagai fasilitator. "kalian ini mahasiswa, calon guru, harus lebih aktif lagi dalam belajar" begitulah mayoritas dosen kompak mengucapkan kalimat yang serupa dalam setiap perkuliah, sehingga kami sangat hafal dengan kalimat itu. Maklum baru semester 1, semua terasa asing. jadi masih terasa kaku untuk di jalani. niat hati untuk melepas penat dan pekat dalam benak, "kira-kira ngapain yaa yang enak" ucapku lagi dalam hati. tiba-tiba terucap tawaran

Minggu, 20 Juli 2014

Cinta Dalam Hati

Satu nama tertera di dada
Terukir tinta berhias permata
Sosok soleha nana bersahaja
mendera jiwa sepanjang masa

takkan terhapus walau diterpa arus
takkan hilang walau badai menghadang

selalu, hanya bayangmu yang ku rindu
selalu, hatiku terasa pilu saat tak bersama mu

+muhamad tirmidzi

Sabtu, 19 Juli 2014

Klarifikasi AKSI di Bulan Suci

Aksi Kami Untuk Berbagi Dibulan Yang Suci, Bukan Untuk Menyaingi Atau Sekedar “Cari Sensasi”, Apalagi Sampai “Mencurigai” Sesama Profesi. #CODE

Aksi Kami Tulus Dari Hati, Menjaga Tali Silaturrahmi, Dengan Tujuan Mencari Ridho Illahi. #CODE

Walau Aksi Kami Tak Terlegalisasi Secara Resmi, Tapi Kami Juga Bukan PKI Yang Berambisi Menguasai Negeri Yang Tercinta Ini, Aksi Kami Untuk Hak Asasi Berorganisasi Sesuai Hati Nurani, Tanpa Diskriminasi. #CODE

Kami akan terus beraksi dengan segenap kemampuan yang kami miliki, Karena Kami Yakin, Illahi Rabbi Tak Melihat Organisasi Bersertifikasi Resmi Tapi Minim Aksi, Namun Melihat Aksi Realisasi Walau Dilakukan Oleh Kami Yang Terzholimi. #CODE



Ciseeng, 03 Juli 2014/03 Ramadhan 1435 H

Keluarga Besar Semester IV STAIM 2014