Rabu, 08 Oktober 2014

Menghidupkan Pendidikan atau Mencari Penghidupan Dari Pendidikan ?

Oemar Bakri... Oemar Bakri pegawai negeri
Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri... Profesor dokter insinyur pun jadi
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

Umar Bakri menjadi nama yang cukup populer di masyarakat Indonesia. Begitu mendengar atau membaca nama rekaan karya Iwan Fals ini bisa dipastikan pikiran kita langsung tertuju pada figur seorang guru pegawai negeri dengan sepeda kumbangnya. Ya, Umar Bakri dalam lagu ini adalah seorang guru yang mengajar disekolah yang murid-muridnya hobi tawuran. Guru Umar Bakri berbakti pada negeri, mencerdaskan anak bangsa.... tetapi.... gajinya kecil sekali.

Inilah reward yang diberikan pemerintah kepada Guru. Reward itu berbentuk gaji yang kecil, itupun masih dipotong sana-sini oleh para koruptor. Bagaimana bangsa ini bisa cerdas kalau guru-guru yang ditugaskan oleh negara untuk mendidik tunas bangsa tidak dihargai tinggi semua pengabdiannya. Katanya tanah Indonesia kaya raya, kenapa penghasilan guru yang dananya didapat dari kekayaan alam ini tidak bisa besar..? tanya kenapa??
Oemar Bakri di era modern tampaknya hampir punah dari bumi perkotaan; seiring anggaran APBN pemerintah sebesar 20% (sekitar Rp.286 Triliun) yang di alokasikan untuk bidang pendidikan, tak terkecuali juga anggaran gaji guru terutama PNS. Para guru yang ada di kota-kota besar, Sepeda kumbang Oemar Bakri sudah berganti dengan sepeda motor bahkan mobil mewah. Bakti pada negeri dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, berubah semboyan menjadi Bakti pada profesi dengan tujuan memperkaya diri. Image gaji kecil yang melekat pada Guru PNS kala itu pun perlahan meluntur seiring makin membengkaknya gaji guru(PNS) dengan segudang tunjangan. Baik di masa profesi maupun di masa pensiun nanti.

Namun demikian, jika menelusuri lebih jauh ke pelosok daerah di Indonesia; Generasi penerus Oemar Bakri masih banyak di temukan. Ditengah keterbatasan fasilitas pembelajaran, akses sulit menuju sekolah, serta honor yang sangat tidak layak di sebut dengan predikat gaji, para Oemar Bakri era modern itu tetap berjuang penuh tanggung jawab demi pengabdian pada negeri dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbanding 180 derajat dengan kondisi yang ada di daerah perkotaan, dimana fasilitas pendidikan sangat mendukung untuk proses pembelajaran, gaji menjajikan dengan segudang tunjangan, tapi tidak sedikit guru yang malas untuk mengajar. Bahkan datang kesekolah hanya karena tuntutan Absensi kehadiran sebagai guru (PNS) aktif. 

Dewasa ini, guru bukan lagi menjadi profesi yang di jauhi; justru banyak diminati. Hal ini terlihat dengan banyaknya perguruan tinggi yang membuka program keguruan di iringi pesatnya permintaan masyarakat. Banyak orang berbondong-bondong mendaftar ke perguruan tinggi demi sebuah sematan tittle "S.Pd/S.Pd.I" di belakang nama. mulai dari kalangan muda hingga yang sudah tua. Dari yang sungguh-sungguh mencari ilmu untuk bekal diri, atau sekedar mengejar absensi sebagai mahasiswa/i. Ada juga yang berkuliah demi memenuhi kewajiban sebagai umat manusia untuk Tholabul Ilmi, tidak jarang juga yang berkuliah demi memenuhi persyaratan untuk menjadi seorang PNS/Sertifikasi Guru.

Belum lagi fenomena menjamurnya lembaga pendidikan baru berbasis yayasan atau pemerintah. Baik dari tingkat diniyyah, dasar, hingga menengah atas. Yang sama-sama mempunyai Visi untuk turut andil dalam mewarnai dunia pendidikan di tanah air. Namun ironis, Fastabiqul Khoirot (berlomba-lomba dalm kebaikan) yang seharusnya menjadi dasar para pendiri sekolah, justru terkesan berubah menjadi ajang kompetisi mencari murid sebanyak-banyaknya. Muncul sebuah paradigma masyarakat, bahwa kesuksesan sebuah lembaga pendidikan di ukur dari jumlah peserta didik yang ada di lembaga itu. 
Setiap tahun ajaran baru akan di mulai, juga seakan menjadi Start di mulainya pertarungan antar lembaga pendidikan. Bertarung dalam segi promosi demi menarik sebanyak-banyaknya peserta didik. Berbagai macam cara dilakukan, mulai dari pengenalan langsung ke sekolah-sekolah sasaran, masyarakat, bahkan majelis ta'lim. Banner, Spanduk, serta brosur-brosur dengan label dan desaign lembaga pendidikan yang berserakan di jalan, turut mewarnai ramai dan sengitnya pertarungan. Dengan harapan lain, semakin banyak peserta didik yang mendaftar, maka semakin besar pula pemasukan(lembaga pendidikan) baik dari masyarakat maupun berupa bantuan dari pemerintah(BOS, BSM, RKB, Dll). Padahal fasilitas dan kemampuan sekolah baik di bidang tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan belum tersedia dengan maksimal.

Dengan demikian, Menghidupkan Pendidikan, atau justru Mencari Penghidupan Dari Dunia Pendidikan ? Wallahu'alam....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar